Jalur pedestrians di Jepang. Sumber: google.com


Pagi yang hangat mengelilingiku di kota Matsuyama ini, 13 derajat celcius adalah suhu yang cukup membuat tubuhku merasa nyaman di musim dingin ini. Ya Matsuyama mungkin tak bersalju, tapi angin yang menyentuh kulit ini bisa menggelitik tulang, apalagi suhu 6 derajat saat aku pertama kali menghirup udara disini. Ranting pohon masih rapuh dan kaku, suara jalanan yang tenang hanya terusik ketukan bel sepeda yang melintas atau hanya sekedar racauan gagak hitam yang lewat, manusia berkulit putih dan sipit berlalu lalang dengan cepat. Ah, ya…. Ehime, Jepang, prefektur yang sedang kutinggali ini memang paling bisa membuat homo sapiens asal Indonesia ini  merasa nyaman.


“Ohayou (Bahasa: Selamat pagi)!”. Suara lembut itu mengalir di telingaku, ah aku hafal suara ini.

‘’Ohayou, Kana!”. Aku menyapanya balik dengan senyum 3 jariku. 

Lalu dia melangkah sejajar denganku, Matsumura Kana adalah teman baruku di Matsuyama ini, untuk ukuran Japanese dia "cukup cerewet" dan terbuka dikala Japanese lain lebih introvert. Kami sering berdiskusi atau bahkan sekedar menertawakan diri disini. Kami berjalan terus sambil tertawa bersama, si sipit cantik ini ternyata yang akan menemaniku hari ini.Namun tiba-tiba jantungku seperti genderang perang berdegup begitu cepatnya DAG DIG DUG DAG DIG DUG, nafasku semakin berat dan sesak HUF HUF HUF. Aku merasa pusing dan semua semakin gelap, semakin gelap lagi, semakin hitam. . . lalu jalanan itu mulai meredup dan. . .

Eeeerrrr aku kesulitan mengangkat kepalaku yang berat, membuka mata dan. . . . BAMM!!! I’m in Indonesia now! In my class exactly!

I realized that it’s just a dream, ah damn! Mataku belum fokus, otakku pun masih berputar. Ah sial! Aku masih di Indonesia, bukan di Matsuyama, bukan di musim dingin tapi di musim hujan, ah sial!
Saat aku berusaha keras mengumpulkan nyawa, entah mengapa aku langsung memfokuskan mataku pada deretan huruf yang menusuk mataku. “God has seen you struggling”. Kata yang sederhana untuk membuat otakku menciut, aku malu…. 

Pasti Tuhan saat ini sedang menertawakanku, seorang pemimpi besar yang memelas pada Tuhan agar kakinya diinjakan kembali di Jepang tapi kerjaannya tidur di kelas. Bodoh!

Oh ya, namaku Gianti! Baru saja ditoyor Tuhan agar ingat untuk berjuang lebih lagi begitu Dia melihatku tertidur di kelas sampai mimpi. Sepertinya Tuhan ingin mengingatkanku bahwa mimpi besarku harus dibayar dengan sesuatu yang besar juga.

Astral Remaja muda belia asal Indonesia macam aku saja ingin kuliah di Jepang, muluk-muluk banget! Biarlah, Tuhanku Maha Kuasa ini. Dia saja bisa membawaku ke Jepang akhir Februari 2015 lalu, lewat program Jenesys 2.0, sebuah program pertukaran pelajar yang intinya untuk mempromosikan Jepang and as we all know that it’s fully funded!
Kota Matsuyama dilihat dari ketinggian (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Sebenarnya sebelum mengikutin Jenesys ini aku tak terlalu addicted dengan Jepang, biasa aja. Bahkan aku lebih ingin mengunjungi Aussie, tapi akhir November 2014 lalu kata-kata asalku jadi do’a yang terkirim ke telinga Tuhan. Saat itu aku cuma asal meracau pada sahabatku “Sa, pengen ke Jepang ih”. Itu do’aku yang ngasal, yang ngasal aja diijabah, ngasal sih tapi tetep ada usahanya.

Jadi gini. . . . aku baru tahu kalau ada seniorku yang mengikuti Jenesys 2.0 ini, namanya Blablabla Putri Utami. Saat itu aku tak tahu nama depannya, aku hanya melihat namanya sekilas di komputer staff administrasi fakultasku. Lalu aku mencari namanya di database universitasku dan aku tahu dia angkatan 2011 jurusan Public Relations dengan nama lengkap Anita Putri Utami.

Nah masalahnya di PR itu ada ratusan orang, lah gimana nyari nya? Bodo amat, aku langsung meneror semua mahasiswa PR 2011 yang aku kenal, aku chat one by one then finally I got the contact! WUZZZZ langsung aku chat ka Anita ini, langsung aku ajak meet up dan langsung aku wawancarai dia seputar Jenesys, bahkan dia memberiku kontak staff Kekominfo sebagai partner JICE untuk menyelenggarakan  Jenesys 2.0.

Karena hasrat Knowing Everything Particular Object-ku yang super kuat dan karena susah banget nyari info Jenesys 2.0 di internet, akhirnya aku meneror pihak Kemkominfo yang ternyata helpful ini sekitar tanggal 21 Desember, ternyata saat itu seleksi Jenesys telah dibuka dengan deadline tanggal 22 Desember sedangkan aku baru menerima berkas formulir dan persyaratannya di 22 Desember sore. Kebayang kan gimana rusuhnya aku mempersiapkan seleksi ini? 

Semalaman aku mengerjakan mini essaynya, riset Jepang itu seperti apa, apa yang dibutuhkan Jepang dan apa yang bisa aku bantu, mencari berkas pribadi, mencari sertifikat TOEFL yang ternyata hilang, dan minta revisi ke Devita. Dan BTW iroiro arigatou gozaimasita for Devita

Tapi Alhamdulillah aku bisa mengirimkan berkasnya melalui e-mail, walaupun kepala pusing karena deadline yang mepet. Tips untuk kamu yang mau ikut program beginian: sebisa mungkin tunjukan pada selektor bahwa kamu bisa berkontribusi penuh dengan skill kamu, buat selektor bisa mengenal kamu walaupun hanya dengan deretan kata.

Hampir sebulan lebih tak ada kabar soal hasil seleksi Jenesys ini, ah sudahlah mungkin bukan rezekiku. Lalu di sore hari yang melelahkan di 2 Februari, Sasa tiba-tiba mengirim Whatsapp:

“Gi, udah cek e-mail?”
“Belom, apaan?”
“Jenesys”

Oh God! Aku langsung terperanjat dan buru-buru membuka e-mailku lalu melihat surel masuk dari Kemkominfo yang menyatakan aku lulus Jenesys 2.0. AAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!! I can’t believe it, saking senengnya aku ga berekspresi apapun, flat.


Logotype Jenesys 2.0 (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Aku kira e-mail ini hanya candaan, eh ternyata ini beneran…. Beneran aku akan pergi ke Jepang gratis! Negara yang banyak diimpikan orang. Alhamdulillah Ya Allah, aku amat percaya Engkau Maha Mendengar.

Mau tahu kisah kakiku yang bisa mencium bau tanah Jepang? Klik disini aja
Atau kamu bisa search segala informasi tentang jepang di Instagram, Path, Facebook, dan Twitter dengan hashtag #Jepangnyatuhdisini

0 komentar:

Posting Komentar

 
;